Jumat, 24 Juni 2016

MAKALAH : FUNGSI KEPEMIMPINAN (PMS)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manajemen merupakan suatu seni dalam membimbing, mengarahkan, mempengaruhi suatu tindakan orang lain untuk bisa melakukan apa yang hendak dilakukan sesuai dengan rencana yang akan dijalankan, dalam sebuah manajemen ada beberapa hal yang penting diantaranya adalah fungsi kepemimpinan dalam manajemen. Fungsi kepemimpinan dalam manajemen merupakan suatu hal yang sangat penting, seorang pemimpin merupakan suatu orang yang dapat membimbing dan mengarahkan bawahannya,oleh karena itu peran pemimpin ini adalah penentu keberhasilan suatu tim dalam menjalankan sebuah manajemen. Pemahaman akan pentingnya peran ini harus diketahui oleh seorang manajer agar dalam pelaksanaan nya mereka dapat menerapkan ciri-ciri seorang pemimpin yang baik yang terntunya sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah.
Dalam makalah ini penulis menyajikan informasi data yang sudah dikumpulkan dari beberapa refrensi yang kemudian di buat simpulan mengenai Fungsi Kepemimpinan.Makalah ini diharapkan akan membantu menyadarkan fungsi seorang pemimpin dalam sebuah manajemen.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa itu kepemimpinan?
2.     Pandangan Islam terhadap kepemimpinan?
3.     Apa saja model-model kepemimpinan?
4.     Apa fungsi kepemimpinan dalam manajemen?

C.    Tujuan
1.      Mahasiswa dapat mengetahui pengertian kepemimpinan
2.     Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana pandangan islam terhadap kepemimpinan
3.     Mahasiswa dapat mengetahui apa saja model kepemimpinan
4.     Mahasiswa dapat mengetahui apa fungsi kepemimpinan dalam manajemen

D.    Metodologi Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode perbandingan,yakni mengumpulkan data dari beberapa buku para peneliti yang kemudian dibuat sebuah simpulan dari beberapa buku refrensi tersebut.
































BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Kepemimpinan

Kepemimpinan berasal dari kata to lead,to quid,to direct in action yang artinya membimbing dan mengarahkan suatu tindakan orang lain.  Artinya seorang pemimpin ini adalah orang yang bisa menggerakan bawahannya,memberikan pengaruh atau mempengaruhi bawahanya untuk bisa melakukan apa yang akan hendak di capai. Kepemimpinan  juga diartikan sebagai hubungan satu orang dengan sekelompok orang. George R. Terry menyatakan , “leadership is the relationship in which one person,the leader influenses other to work together wilingly on related task to attain that which the leader desires”.
Oleh karena itu,seorang manajer yang baik harus mendapatkan tindakan efektif  dari orang lain yang setaraf. Kepemimpinan merupakan seni untuk mengendalikan orang-oarang dalam sebuah organisasi baik formal maupun non formal agar prilaku mereka sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pimpinan.
Pada dasarnya seseorang dapat dikatakan sebagai seorang pemimpin apabila dia mampu mengendalikan dan menggerakan bawahannya. Demikian merupakan pengertian dari sebuah kepemimpinan ini muncul apabila ada unsur-unsur ini
1.   Ada orang yang dipengaruhi
2.   Ada orang yang mempengaruhi
3.   Ada pengarahan atau pengendalian

B.    Model Kepemimpinan
Tidak ditemukan model kepemimpinan ideal yang mungkin untuk diterapkan dalam setiap waktu dan perubahan zaman. Kepemimpinan diartikan sebagai peran tertentu yang dijalankan seorang pemimpin yang mengintegrasikan pesan manusia, permasalahan dan kondisi.
Akan tetapi, terdapat kesepakatan bahwa seorang pemimpin harus berbaur dengan para bawahan dalam segala sesuatu yang terkait dengan konsen, pemikiran dan kenyakinan mereka. Serta harus menunjukan kepada mereka bahwa ia akan melayani segala kebutuhan dan tujuan mereka, dan ia adalah bagian yang utuh dengan para bawahan. Sehingga, para bawahan bisa menerimanya sebagai pemimpin. Untuk itu, unsur kedekatan dengan jema’ah merupakan sikap pokok bagi seorang pemimpin. Pengalaman sejarah menunjukan bahwa seorang pemimpin yang menjaga jarak dan jauh dari bawahan, baik dari segi pemikiran dan tindakannya, tidak akan mampu menjalankan tugas kepemimpinan dengan baik.
Ronal Lipitt dan R. White pernah melakukan suatu penelitian tantang model-model kepemimpinan. Keduanya mengambil sempel model kepemimpinan yang berpengaruh untuk mengerakkan bawahan, dengan tujuan untuk mengetahui kolerasi antara model kepemimpinan dan perilaku bawahan. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui dampak 3 model kepemimpinan terhadap perilaku individu dan masyarakat. Ketiga model kepemimpinan itu adalah demokras, autoritarian, dan laissez-faire. Penelitian ini dilakukan selama 7 minggu.
1.   Model Demokrasi
Keputusan yang diambil dalam model kepemimpinan ini merupakan hasil kesepakatan bersama melalui sebuah diskusi dan pemikiran kolektif. Pemimpin berperan untuk memimpin dan mengatur jalannya diskusi (musyawarah), dan memberikan kebebasan bagi masing-masing individu untuk mengungkapkan pendapatnya. Seorang pemimpin menyampaikan gagsan dan sarannya melalui berbagai media, namun pemimpim tidak memiliki hak untuk memaksakan kehendaknya. Model kepemimpinan ini di bangun dengan semangat kebersamaan, persamaan, dan egaliterisme. Masing-masing individu adalah sama dan bagian dari yang lainnya.
2.   Model Autoritarian
            Seorang pemimpin memiliki wewenangan mutlak untuk menentukan program atau kebijakan tanpa harus meminta pertimbangan dan bermusyawarah dengan masyarakat. Rakyat hanya berperan menjalankan program dan kebijakan pemerintah tanpa mengetahui tujuan yang ingin diraih. Mereka bekerja untuk mengwujudkan keinginan yang ingin di capai pemerintah. Pemerintah mempunyai kewenangan mutlak dan memaksa rakyat untuk mematuhinya secara otoriter. Kedudukan dan posisi pemerintah dengan rakyat terpisah, kecuali pemerintah akan turun langsung jika akan memberi penjelasan kepada rakyat.
3.   Model Laissezfaire
Peran seorang pemimpin bersifat pasif. Mereka memberi kebebasan secara mutlak bagi rakyat untuk mengambil keputusan, tindakan, dan langkah untuk kehidupannya. Pemimpin hanya berperan untuk meyampaikan informasi dan kebijakan penting, dan menyediakan fasilitas untuk kehidupan rakyat. Selain itu, negara tidak memiliki hak intervensi, kebijakan atau rekomendasi pekerjaan yang akan dia lakukan.
Maka, hasil dari ketiga model kepemimpinan itu ialah demokrasi lebih bisa diterima oleh mayoritas masyarakat, namun demikian, munculnya kelompok oposisi adalah fakta yang tidak bisa di hindari. Terlebih, jika model yang digunakan adalah model autoritarium. Sedangkan dalam model laissezfaire menuntut peran pemerintah lebih aktif dalam kehidupan rakyat.3
Telah banyak model kepemimpinan yang diadakan percobaan ilmiah dan hasilnya model kepemimpinan relatif lebih baik dan utama dari model-model lainnya. Karena model demokrasi memiliki nilai positif (keunggulan komparatif) dan menggapnya sebagai model kepemimpinan yang ideal. Namun model ini tidak dapat secara mutlak diterapkan dalam setiap kondisi dan zaman. Dengan alasan kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi, sosio-geografis, kultur masyarakat, peninggalan rakyat serta dalam kondisi tertentu.
Model ini akan dianggap ideal jika persamaan antara pemimpin dan rakyat dalam persamaan budaya, pengetahuan, wawasan dan pandangan hidup (filsafah). Namun tidak ideal jika sudah bertentangan dengan kultur dan prinsip hidup.4
Dalam pemikiran Khalifah Umar r.a, beliau mengatakan “sesungguhnya persoalan ini tidak patut dan layak, kecuali orang yang lembut tapi tidak lemah, orang yang kuat tapi tidak korup (sewenang-wenang)”. Saat dilantik beliau menyampaikan dalam pidatonya “wahai manusia, demi Allah, tidak ada seorang pun dari kalian yang lebih kuat di hadapanku dari orang yang lemah, sehingga saya mengambil haknya, dan tidak ada orang yang lebih lemah dihadapanku dari orang yang kuat, sehingga aku mengambil haknya”.
Model kepemimpinan dalam islam dibangun dengan prinsip pertengahan, moderat dalam memandang persoalan. Tidak memberikan kekuasaan secara otoriter, atau kebebasan secara mutlak, sehingga bebas dari nilai. Ia adalah bukan model demokrasi yang dapat dijalankan sepanjang sejarah dan perubahan zaman.

_____________________
3Bankab, Qiraat fi al-Nafs al-Ijtima’I, New York, 1947, hlm. 315-330
4Lihat, Nadzriyat al-Qiyadah al-Haditsah Ka Nadzriyah al-Mauqif wa Nadzriyat Ma Ba’da Nadzriyat.

C.              Pilar-pilar Kepemimpinan
Budaya perusahaan, arah dan bentuk manajemen sebuah perusahaan atau organisasi tergantung dalam kemampuan kepemimpinan seorang pemimpin, guna mencapai tujuan yang diinginkannya. Hal ini bisa dipengaruhi dengan faktor-faktor internal dan eksternal yang secara intens berinteraksi dengan dinamika perusahaan.
Artinya keberhasilan perusahaan dalam mencapai target dan tujuannya, tidak hanya dari prosedur, peraturan, standar operasi, sumber daya insani atau infrastruktur perusahaan. Namun juga, akan menuntukan kinerja perusahaan dalam mencapai tujuannya.
Sorang pemimpin mempunyai peran yang sangat besar dalam menentukan maju tidaknya suatu perusahaan. Untuk itu, menjadi seorang pemimpin harus mempunyai beberpa kompetensi yang mencerminkan pilar-pilar sebuah kepemimpinan, yaitu sebagai berikut :
1.       Kemampuan Strategis
Kemampuan ini diartikan sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk mengetahui kondisi sosial-politik yang melingkupi operasional organisasi yang dipimpinnya. Kemampuan untuk mengolah kekuatan internal yang dimiliki dengan hambatan eksternal guna mengwujudkan tujuan yang di ingkinkan. Maka kemampuan strategi dapat diartikan sebagai kemampuan untuk membuat perencanaan strategis serta program-program yang harus dijalankan untuk mewujudkan tujuan yang sudah disepakati bersama.
2.       Kemampuan Interpersonal
Kemampuan pemimpin untuk membina hubungan baik, berkomunikasi dan berinteraksi dengan para bawahan dan seluruh elemen perusahaan. Hal ini menjadi persyaratan mutlak seorang pemimpin perusahaan untuk menjalankan perusahaan agar terjadi kesatuan pemahaman. Dengan ini pemimpin bisa memperngaruhi bawahannya supaya menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan jujur, amanah, ikhlas dan profesional.
Kewajiban yang harus ditunaikan pemimpin kepada bawahannya :
a.      Menunjukan suri teladan yang baik atas segala aktivitas yang dilakukannya.
b.     Memiliki interaksi sosial yang baik dengan bawahan, konsen terhadap persoalan mereka dan berlaku adil.
c.      Mengajak bawahan untuk bermusyawarah dan menghormati pendapat mereka.
d.     Melatih bawahan untuk menjalankan tugas dengan amanah.
e.      Memiliki kepercayaan terhadap kemampuan bawahan dan mendelegasikan beberapa wewenang.
f.      Melakukan inspeksi, pengawasan dan audit terhadap kinerja bawahan secara amanah.
3.       Suri Tauladan
Tugas utama seorang pemimpin adalah memberikan contoh dan suri tauladan kepada bawahannya dalam menjalankan tugas-tugas perusahaanya. Ia mewajibkan berperilaku lurus dan sesuai denga prosedur yang ada serta teguh dalam menjalankan tanggung jawab dengan penuh kesabaran, amanah dan pengorbanan. Serta harus sesuai dengan ketentuan yang telah diturunkan Allah.
4.       Berakhlak mulia, Adil dan Penyayang
Seorang pemimpin harus lembut, bijaksana dan adil dalam memberikan keputusan kepada masyarakat. Perhatian dalam persoalan rakyat, memberikan nasehat pada mereka melakukan salah dan memberikan semangat (motivasi) jika mereka melakukan kebenaran. Memberikan argumen kepada mereka secara bijaksana, sehingga mereka merasa nyaman dengan pendapatnya. Sifat dan karakter ini lebih melekat dalam diri Rasulullah dan para Khulafaur Rasyidin.
5.       Musyawarah dan Partnership
Seorang pemimpin diwajibkan untuk bermusyawarah dengan para bawahannya,  Karena akal dan intelektual manusia tidak mungkin mengusai semua persoalan dan pendapat orang lebih dapat bisa di pertanggung jawabkan daripada pendapat sendiri. Ini merupakan salah satu prinsip islam dan wajib di pegang dalam kehidupan.
6.       Pelatihan
Pelatihan merupakan suatu elemen penting untuk meningkatkan kemampuan seorang pemimpin dalam menjalankan sebuah perusahaan/organisasi. Tujuan pelatihan adalah untuk mendapat tenaga-tenaga handal di bidangnya yang profesional dan bertanggung jawab dengan sebaik mungkin. Pada tahap awal pengembanggan islam Rasulullah konten mengembangkan pribadi-pribadi yang unggul akan menempati posisi strategis bagi masa dengan islam. Beliau mengawali dengan pelatihan para ahli fiqh selanjutkan mereka disebarkan keberbagai kota guna menyebarkan agama islam.
Dalam rangka memperluas wilayah jazirah Arab rasulullah mengutus beberapa sahabat untuk belajar merakit senjata. Dan juga memperkenankan para wanita untuk ikut serta dalam perang yang sebelum itu diberi pengarahan atau pelatihan dalam berperang/
7.       Pendelegasian
Pendelegasian wewenang dan tanggung jawab merupakan persoalan penting demi kemaslahatan seorang pemimpin. Hal ini mengingat kalau pemimpin juga manusia biasa yang mempunyai keterbatasan dan tidak mamapu menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, pemimpin harus mendelegasikan sebagian wewenang kepada bawahan untuk menjalankan tugas-tugasnya. Dengan ini para bawahan akan merasa telah mendapatkan kepercayaan dari pemimpin untuk mengembangkan tanggung jawab dan memicu motivasi untuk menjalankan tugas secara amanah, bertanggung jawab dan profesional.
8.       Pengawasan dan Auditing
Keduanya merupakan kewajiban derivatif setelah pemimpin mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada bawahannya. Pengawasan dan kotrol harus tetap dijalankan agar para bawahan menjalankan tugasnya sesuai prosedur dan tetap konsisten terhadap tujuan yang ingin dicapainya, sehingga mereka bertanggug jawab terhadap kewajibannya.
9.       Kemampuan Teknis
Pengetahuan dan kemampuan khusus yang dimiliki sorang pemimpin untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan sebaik mungkin atau kemampuan terhadap alat tertentu guna kelancaran pekerjaan. Seorang pemimpin yang mempunyai kemampuan ini akan menjadi panutan bagi bawahannya serta mereka akan menjadikannya referensi tentang sesuatu yang tidak mereka ketahui, sehingga mereka akan sangat hormat kepadanya.
Namun kemampuan ini tidak untuk menyelesaikan persoalan secara mendetail, karena waktunya sudah terkuras untuk manajemen organisasi. Setidaknya kemampuan ini bisa dipergunakan untuk membuat perencanaan, penentuan aktivitas kerja, pendelegasiannya kepada bawahan kemudian dilaukan pengawasan dan kontrol kepada bawahan agar mereka konsisten dalam menjalankan perencanaan.
Rasulullah merupakan contoh ideal bagi para sahabat dalam menyelesaikan suatu persoalan beliau mengerjakan dengan tangannya untuk membangun masjid madrasah bersama sahabat serta berada para barisan terdepan dalam perang sehingga darah menetis dari lukanya.
10.    Kenyakinan terhadap tujuan dan menjelaskan kepada jamaah
Kenyakinan terhadap tujuan dan sunguh-sunguh dalam merealisasikannya, merupakan pilar bagi keberhasilan seorang pemimpin. Para pemimpin muslim memberikan contoh ideal tentang kekuatan kenyakinanmereka terhadap tujuan. Konsisten dalam mengwujudkan tujuan tersebut dengan segenap pengorbanan harta dan jiwa. Rasulullah dan pamannya, Abu Thalib mencerminkan kuatnya kenyakinan nabi saw terhadap tujuan yang diinginkannya dan mempunyai tekad yang kuat dalam mengwujudkannya
Kenyakinan terhadap tujuan tidak akan sempurna kecuali di transfer ke seluruh lapisan masyarakat agar mereka dapat memahami dan menajdikan pemimpin sebagai suri tauladan untuk mereka realisasikan.
11.    Kemampuan melakukan perencanaan dan pengorganisasian
Keduanya merupakan standar dan faktor pembeda antara pemimpin dan lainnya. Yaitu, kemampuan untuk melaksakan perencanaan, membutuhkan program dan kebijakan serta mendelegasikan kepada orang yang berkompeten dengan sumber daya yang dimiliki.
Fakta membuktikan dengan tidak matangnya suatu perencanaan dan pengorganisasian walaupun sumber daya cukup melimpah maka perusahaan atau organisasi akan gagal karena tidak sampai pada tujuan yang telah ditetapkan.
12.    Bertanggung Jawab
Pembeda kedua antara pemimpin dan lainnya adalah keberanian untuk bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Ia tidak pernah lari dari tanggung jawabnya karena itu adalah konsekuensi dari pekerjaan yang ia geluti walaupun harus berkorban. Untuk menangung tanggung jawab, ia harus melalui beberapa persiapan guna menangani beberapa persoalan terkait pekerjaan, serta keberanian untuk mengambil suatu keputusan dengan segala konsekuensinya.
Pemimpin dengan tanggung jawab mutlak dibutuhkan terlebih pada lingkungan yang tidak kondusif. Dia akan melakukan pekerjaan dengan baik, walaupun dalam kondisi buruk. Dalam kondisi ini, peran bawahan sangat diperlukan untuk menymbang pemikiran dan bersama-sama untuk menetapkan keputusan, dengan tingkat kerugian dan pengorbanan seminimal mungkin.
13.    Mengembangkan Organisasi
Seorang pemimpin harus bisa mengembangkan perusahaannya jangan cepat merasa puas dengan hasil yang telah tercapai, tetapi harus tetap melihat kedepan karena zaman akan selalu berubah oleh karena itu dibutuhkan inovasi, terobosan-terobosan baru dan program-program terhadap perusahaan yang ia pimpin serta pengawasan terhadap kinerja bawahan  agar tidak terjadi perusahaan yang mengalami kemunduran.
Selain itu untuk mengembangkan perusahaan pemimpin harus senantiasa berdiskusi dengan para ahli dan pakar yang memiliki segudang pengalaman.
D.    Tipe-tipe Kepemimpinan
Tipe kepemimpinan sering disebut juga sebagai gaya kepemimpinan. Baharudin (2013:174) menyebutkan ada delapan gaya kepemimpinan, diantaranya :
a.      Tipe Otokrasi
Kepemimpinan Otokrasi disebut juga kepemimpinan diktator atau direktif. Pemimpin yang menganut pendekatan ini mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan para karyawan yang harus melaksanakannya atau karyawan yang dipengaruhi keputusan tersebut (Fandi Tjiptpono dan Anastasia Diana, 2000:161).
b.     Kepemimpinan Demokrasi
Gaya atau tipe kepemimpinan demokrasi dikenal dengan istilah konsensus. Pemimpin yang menganut pendekatan ini melibatkan para karyawan yang melaksanakan keputusan dalam proses pembuatannya, walaupun yang membuat keputusan akhir adalah pemimpin. (Fandi Tjiptpono dan Anastasia Diana, 2000:161).
c.      Kepemimpinan Laisser Faire
Kepemimpinan Laisser Faire disebut juga gaya kepemimpinan yang bebas. Gaya kepemimpinan ini lebih banyak menekankan pada keputusan kelompok.
d.     Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan Partisipatif dikenal dengan istilah kepemimpinan terbuka bebas. Pemimpin yang menganut pendekatan ini hanya sedikit memegang kendali dalam proses pengambilan keputusan. Ia hanya sedikit menyajikan informasi mengenai permasalahan dan memberikan kesempatan kepada anggota tim untuk mengembangkan strategi dan pemecahannya. (Baharudin, 2013:178).

e.      Kepemimpinan Paternalistik
Gaya kepemimpinan ini bersifat kebapakan. Pemimpin ini selalu memberikan perlindungan kepada bawahan dalam batas-batas kewajaran.
f.      Kepemimpinan Berorientasi Tujuan
Gaya kepemimpinan ini disebut juga kepemimpinan berdasarkan hasil atau sasaran. Penganut pendekatan ini meminta anggota tim untuk memusatkan perhatian pada sebuah tujuan. Hanya strategi yang dapat menghasilkan kontribusi nyata dapat diukur dalam mencapai tujuan organisasi yang dibahas. (Baharudin, 2013:178)
g.     Kepemimpinan Militeristik
Kepemimpinan militeristik tidak hanya terdapat di kalangan militer saja tetapi banyak juga yang terdapat pada instansi sipil.
h.     Kepemimpinan Situasional
Gaya kepemimpinan ini dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tidak tetap atau kontingensi. Gaya kepemimpinan situasional akan menerapkan suatu gaya tertentu berdasarkan pertimbangan atas faktor-faktor pemimpin, pengikut, situasi.

MAKALAH : PENGHALANG KEWARISAN (AL-HAJB) - (MAWARIS)



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya di tetapkan hak kepemilikan harta bagi manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus di terima semuanya dijelaskan sesuai dengan kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu atau bahkan sebatas saudara seayah atau seibu. Karna Islam telah mengatur tentang hukum waris dan ajarannya terdapat pada hukum islam maka sebagai umat Islam harus mengetahui tentang hukum waris tersebut.
Dalam ilmu waris bukan hanya dikenal adanya atauran siapa saja yang berhak mendapatkan warisan, ada juga hal yang membuat seseorang yang mendapkan warisan karena ada suatu hal membuat orang tersebut haknya menjadi hilang atau gugur, sehingga orang tersebut tidak jadi menerima warisan. Selain itu ada juga seseorang yang seharusnya mendapat warisan namun ia akan terhalang karena ada orang lain yang lebih berhak mendapat bagiannya.
B.      RumusanMasalah
Berdasarkan dari pemikiran judul makalah ini, yaitu. Dalam rangka mempermudahkan pembahasan terhadap apa yang dimaksud dalam makalah ini, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah sebagai berikut:
1.     Apa pengertian dari hujub dan apa perbedaan antara hujub dengan hirman?
2.     Apa saja macam-macam hujub?
3.     Siapa saja ahli waris yang terhalang dan menghalangi?
4.     Bagaimana contoh-contoh dari hujub dalam kehidupan?
C.      TujuanMakalah
Berdasarkan pada judul, uraian latar belakang dan pokok permasalahan yang diangkat dan dijelaskan di atas maka, tujuan penulisan makalah ini sebagai berikut:
1.     Mengetahui dan mengerti apa definisi dari Hujub dan perbedaan antara hujub dengan hirman.
2.     Mengetahui dan memahami macam-macam dari hujub.
3.     Mengetahui siapa saja ahli waris yang terhalang dan yang menjadi penghalang.
4.     Mengetahui dan dapat mengidentifikasi contoh konkrit dari hujub dalam kehidupan.



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Definisi Al Hujub dan Perbedaan antara Hujub dan Hirman
Hujub menurut bahasa adalah halangan. Sedangkan menurut syara’ halangan warisan baik seluruhan atau sebagian. Ungkapan para fuqaha Hujub adalah halangan ahli waris tertentu untuk memperoleh seluruh warisan atau sebagiannya, karena adanya orang lain yang tidak bersamanya dalam bagian, seperti tershijabnya kakek oleh ayah, terhijabnya suami dari setengah menjadi seperempat karena anak.
Perbedaan antara Hujub dengan Hirman
Hujub bukan hirman. Hirman adalah terhalangnya seseorang untuk mewarisi, karena adanya salah satu penghalang warisan seperti membunuh. Anak yang membunuh tidak mewarisi karena adanya pembunuhan padahal penyebab warisan eksis, yakni kekerabatan. Orang yang dihalangi kriteria tidak menghijab yang lain, tapi dianggap tidak ada. Orang yang mati yang meninggalakan anak yang membunuh, istri dan ayah maka istri mendapatkan seperempat, seakan-akan mayat tidak mempunyai anak, sedangkan ayah mendapatkan ashabah.
Adapun hujub adalah halangan mewarisi bukan karena penyebab yang menghalangi tapi karena adanya seseorang yang lebih dekat pada mayit. Orang yang di hijab oleh seseorang juga bisa menghujab yang lain. Dia dianggap ada. Orang yang mati meninggalkan ayah, ibu dan dua orang saudara sekandung maka ibu mendapatkan seperempat karena adanya dua orang saudara perempuan sekandung, maka ibu mendapatkan seperenam karena adanya dua orang saudara perempuan sekandung, sementara keduanya di mahjub oleh ayah. Kadang-kadang ayah menghijab yang lain dengan pengurangan atau penghalang, seperti saudara-saudara laki-laki bersama dengan ibu dan ayah, seperti ibunya dihijab oleh ayah, dan dia dihijab ibunya ibunya ibu.
Berdasarkan semua itu maka penghalang dalam hujab bukanlah karena kriteria yang eksis pada yang dihalangi itu. Maka tidak ada keharusan adanya hak pewaris. Penghalang dalam hirman adalah karena kriteria yang eksis pada yang dihalangi, seperti dia membunuh, kemudian karena hal itu hak warisan menjadi hilang.
Tidak termasuk hujub berkurangnya bagian-bagian ashabul furudh karena berkumpulnya orang yang sejenis dengan mereka pada saat sendirian, seperti para istri. Bagian istri jika sendirian adalah seperempat atau seperdelapan. Jika istri berbilang maka mereka mendapatkan bagian yang sama.
Tidak termasuk hujub juga, berkurangnya bagian karena aul, ketika bagian-bagian bertambah dari asal masalah.
B.      Macam-Macam Al Hujub
Al Hujub terbagi dua, yakni al-hujub bil washfi (sifat/julukan), dan al-hujub bi asy-syakhshi (karena orang lain).
1.     Al-Hujub Bil Washfi
Al-Hujub Bil Washfi berarti orang-orang terkena hujub tersebut terhalang dari mendapatkan hak waris secara keseluruhan, yang termasuk al-hujub bil washfi yaitu:
a.      Pembunuhan
Apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misalnya seorang anak membunuh ayahnya), maka gugurlah haknya untuk mendapatkan warisan dari ayahnya. Si Anak tidak lagi berhak mendapatkan warisan akibat perbuatannya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.
Dari pemahaman hadits Nabi tersebut lahirlah ungkapan yang sangat masyhur di kalangan fuqaha tentang jenis pembunuhan.
·       Mazhabhanafimenentukanbahwapembunuh yang dapatmenggugurkanhakwarisadalahsemuajenispembunuhan.
·       Mazhab Maliki berpendapat bahwa hanya pembunuh yang sengaja atau yang direncanakan yang dapat menggugurkan hak waris.
·       Mazhab Syafi’i mengatakan bahwa pembunuhan dengan segala cara dan macamnya tetap menjadi pengugur hak waris, sekalipun hanya memberikan kesaksian palsu dalam pelaksanaan hukuman rajam, ataubahkanhanyamemberikankesaksianparasaksi lain dalampelaksaanqishashatauhukumanmatipadaumumnya.
·       Mazhab Hambali berpendapat bahwa pembunuh yang dinyatakan sebagai penggugur hak waris adalah setiap jenis pembunuhan yang mengharuskan pelakunya di qishash, membayar diyat, atau membayar kafarat. Selain itu tidak tergolong sebagai pengugur hak waris.
b.     Perbedaan Agama
Seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun di warisi oleh orang non muslim, apapun agamanya. Maka seorang anak tunggal dan menjadi satu-satunya ahli waris ayahnya akan gugur haknya dengan sendiri bila dia tidak beragama Islam. Dan juga siapapun yang seharusnya termasuk ahli waris, tertapi kebetulan dia tidak beragama islam, tidak berhak mendapatkan harta warisan dari pewaris muslim.
Namun sebagian ulama yang mengaku bersandar pada pendapat Mu’adz bin Jabal yang mengatakan bahwa seorang muslim boleh mewarisi orang kafir. Sebagian ulama ada yang menambahkan satu hal lagi yaitu murtad. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa murtad tergolong orang yang berbeda agama, karena orang murtad tidak dapat mewarisi harta orang islam.
Sementara itu, orang yang murtad menurut beberapa ulama terjadi perbedaan pendapat. Menurut mazhab Maliki, Syafi’i dan Hambali (jumhur ulama) bahwa seorang muslim tidak berhak menerima atau mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Karna orang yang murtad sama saja dengan orang yang berbeda agamanya.
Sedangkan menurut mazhab Hanafi, seorang muslim dapat mewarisi harta kerabatnya yang murtad. Bahkan kalangan ulama mazhab Hanafi sepakat mengatakan seluruh harta peninggalan orang murtad diwariskan kepada kerabatnya yang muslim.
c.      Budak
Seorang yang bersetatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuanya. Jadi semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak memiliki hak milik.
2.     Al-Hujub Asy-Syakhshi
Al-hujub asy-syakhshi yaitu gugurnya hak waris seseorang di karenakan adanya orang lain yang lebih berhak untuk menerimanya. Al-hujub asy-syakhshi terbagi menjadi dua yaitu:
a.      Hujub Nuqshan
Yaitu penghalang yang menyebabkan berkurangnya bagian seorang ahli waris, dari bagian yang lebih tinggi menjadi bagian bagian yang lebih rendah, dengan kata lain berkurangnya bagian yang semestinya diterima oleh seorang ahli waris karena ada ahli waris lain.
Hajib-Mahjub Nuqshan
No
Ahli Waris
Bagian
Terkurangi oleh
Menjadi
1
Ibu
 1/3
anak atau cucu
1/6


 1/3
 2 saudara atau lebih, saudara L/P, saudara sekandung/ seayah/ seibu
1/6
2
Bapak
As
anak laki-laki
1/6


As
anak perempuan
1/6 + As
3
Isteri
 ¼
anak atau cucu
1/8
4
Suami
 ½
anak atau cucu
¼
5
saudara perempuan sekandung /seayah
 ½
anak atau cucu perempuan
‘amg

saudara perempuan sekandung /seayah 2/lebih
 2/3
6
cucu perempuan garis laki-laki
1/2 
seorang anak (pr)
1/6
7
saudara perempuan seayah
 ½
seorang saudara (pr) sekandung
1/6




b.     Hujub Hirman
Hujub hirman yaitu ahli waris yang terhalang warisan sama sekali. Ahli waris menurut hujub hirman ada dua macam:
1)     Ahli warisyang tidak dihujub dengan hujub hirman.
Ada beberapa ahli waris yang tidak terkena hujub hirman. Mereka terdiri dari enam orang yang akan tetap mendapatkan hak waris. Keenam orang tersebut adalah ; Anak laki-laki, anak perempuan, ayah, ibu, suami dan istri.
2)     Ahli waris yang terkena hujub hirman
Ada beberapa ahli waris yang terkena hujub hirman. Mereka terdiri dari; kakek dengan ayah, anak laki-laki dari anak laki-laki dengan anak laki-laki, anak-anak perempuan dari anak laki-laki dengan dua anak perempuan dan anak laki-laki, saudara-saudara perempuan seayah dengan dua saudara perempuan sekandung dan seorang saudara laki-laki sekandung, yang terakhir saudara-saudara laki-laki secara mutlak oleh anak laki-laki, anak laki-laki dari anak laki-laki, dan oleh ayah.
Hujub hirman didasarkan pada dua kaidah:
1)     Setiap orang yang dekat kepada mayit dengan perantara maka perantara itu menghijabnya, baik itu anak-anak ibu-mereka mendekat kepada mayit melalui ibu, mereka  juga mewarisi bersama dengan ibu seperti kakek dengan ayah, nenek (ibunya-ibu) dengan ibu.
2)     Yang paling dekat menghijab yang paling jauh, seperti yang tersebut dalam ashabah-ashabah, seperti beberapa nenek dengan ibu. Ibu menghijab semua nenek. Yang dekat menghijab yang jauh. Anak-anak perempuan dari anak laki-laki dengan anak laki-laki atau anak perempuan. Anak laki-laki dari anak laki-laki dengan anak laki-laki yaitu pamannya. Anak laki-laki dari anak laki-laki menghijab anak laki-laki saudaranya, karena kedekatan tingkatanya.

C.      Contoh-Contoh Al Hujub
1.     Seorang wafat meninggalkan Istri, seorang saudara sekandung, seorang saudara laki-laki seayah, seorang anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, maka istri mendapatkan seperempat, saudara perempuan sekandung setengah, saudara laki-laki ashabah yang mengambil sisa, anak laki-laki dari saudara laki-laki terhijab oleh saudara laki-laki.
2.     Seorang wafat meninggalkan ahli waris suami, ibu, seorang anak perempuan, saudara laki-laki seibu, seorang saudara perempuan seayah, seorang paman sekandung, maka suami seperempat, ibu seperenam, seorang anak perempuan setengah, saudara-saudara laki-laki seibu terhijab oleh anak perempuan, seorang saudara perempuan seayah ashabah dengan anak perempuan yang mengambil sisa. Paman terhijab oleh anak perempuan, seorang saudara perempuan seayah ashabah dengan anak perempuan mengambil sisa. Paman terhijab oleh saudara perempuan seayah. Asal masalah 12.
3.     Dua orang seaudara sekandung, dua orang saudara perempuan seayah, ibu, ibunya, ayah seorang anak laki-laki dari dari saudara laki-laki sekandung, maka dua orang pertiga, dua orang saudara perempuan seayah terhijab oleh dua orang saudara perempuan sekandung, ibu seperenam, ibunya ayah terhijab oleh ibu, anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung ashabah yang mengambil sisa. Asal masalah 6.
4.     Seorang anak perempuan, seorang anak perempuan dari anak laki-laki, dua orang istri, nenek, dua orang saudara perempuan sekandung, seorang saudara laki-laki seayah, maka seorang anak perempuan setengah, seorang anak perempuan dari anak laki-laki seperenam, dua orang istri seperdelapan, nenek seperenam, dua orang saudara perempuan sekandung ashabah yang mengambil sisa, saudara laki-laki seayah termahjub oleh dua saudara laki-laki sekandung, asal masalah 24.
Seorang anak perempuan, seorang anak perempuan dari laki-laki, seorang saudara perempuan sekandung, ibunya ibunya ibu, ibunya ayah, maka seorang anak perempuan mendapatkan setengah, seorang anak perempuan dari anak laki-laki seperenam, seorang saudara perempuan sekandung ashabah yang mengambil sisa, ibunya ayah seperenam, ibunya ibunya ibu terhijab oleh ibu yang dekat. Asal masalah 6.



DAFTAR PUSTAKA
Az-zuhalili, Wahbah. 2007. Fiqih Islam Wa Adillatuhu Jilid 10. Jakarta: Darul Fikri
Maruzi, Muslich. 1981. Pokok-pokok ilmu waris. Semarang: Mujahidin